Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran
yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan
oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakawin (tembang) oleh
Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:”Serat Dewaruci Kidung” yang disampaikan
dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan
bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.
Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri
Astina, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Amarta,(yang sebenarnya
adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena
yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai
kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru
untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah
gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan
tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat
sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Diceritakan Pada saat di negeri Astina ,Prabu Suyudana/raja
Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat
ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama
dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden
Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma,
Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah
menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan,
menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam
triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci
ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam
gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu
keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan
Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di
gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan
bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak
ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang
berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan
niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena,
tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian.
Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang,
dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan
mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir
bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri
dibawah pohon beringin.
Setibanya di serambi Astina,
saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala,
Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan
lain-lainnya, terkejut….! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang
perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab
tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga
membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi….., yang
sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada)
Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa
mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan
tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa
janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan
dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik
berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk
Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan
akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan
bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera.
Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan,
tidak membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun
gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur
batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang,
bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh
menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak
benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi,
walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia
berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata
yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu
Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut,
kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian
tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke
laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar
air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah
liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam
bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa
bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa
meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di
badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba,
kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan
meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang
dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas,
diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening.
Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu
dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut,
bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :”Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal
di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan,
dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh
didepanku, itu yang saya makan”. Dikatakan pula :”Wahai Wrekudara, segera
datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan
dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu
memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin
ditemukan”.
“Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan
dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama,
menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang
Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak
sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak
lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun
juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air
jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka
orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya”, lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :”Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan
makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu
nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi
dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan
membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian
pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah”.
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan
“Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil
tertawa sena bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana
jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”.Dewa Ruci tersenyum dan
berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan
dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga
kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan
selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang.
Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah
arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning
dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: “Yang pertama kau lihat cahaya, menyala
tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang
memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat
lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan,
selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah,
menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan
putih, itu adalah penghalang hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi
dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala
keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada
kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti
nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam
kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan
kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya
memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah
gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat
itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai
segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak,
tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa
firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan
diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di
tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita,
jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang
mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak
menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya,
Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna
itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran,
bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh,
jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika
berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi
kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar,
tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat,
peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat
pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati,
ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya
waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar,
persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang
yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia
merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati
dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui
ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan
dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar
menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan
Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri
sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul
itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad
ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah.
Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup,
bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan
hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
Wrekudara setelah mendengar
perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam
hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan
oleh Dewa Ruci :”Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang
didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian,
kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara
melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan
semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya,
hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para
Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya,
dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya
tersesat dan terjerumus. Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil,
kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai
kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru,
mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata.
Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan
gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak
jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran
batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di
atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang,
berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang
melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang
orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan
bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar,
bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan
asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah
asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang
kemudian sebagai rahasia.
KEMBALI KE NEGERI NGAMARTA
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara
kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak
asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan
dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya,
kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu,
seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para
saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena,
cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu
Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu
dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak
ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :”Adikku
ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini”.
MAKNA AJARAN DEWA RUCI
Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari.
Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi
Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.
HUTAN TIKBRASARA DAN GUNUNG REKSAMUKA
Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung
Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini
melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa
berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan
Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.
Sebelum melakukan samadi
orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.
Pada waktu samadi dia harus
memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi
mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina
berarti tempat artinya tempat yang tinggi.
Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang
mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain
melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita
wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi
ketempat suci melalui cahaya suci.
RAKSASA RUKMUKA DAN RUKMAKALA
Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala.
Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima
berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.
Rukmuka
Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal
dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala
Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan
halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian,
perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)
Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang
ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan
kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya
yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa
Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.
SAMUDRA DAN ULAR
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi
sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke
samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang
baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan
memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam
satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk
mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan
kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya.
Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
Rila :
dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang
dan tidak iri kepada orang lain.
Legawa
harus selalu bersikap baik dan
benar.
Nrima
bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
Anoraga
rendah hati, dan apabila ada orang
yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
Eling
tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan
berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
Santosa
selalu beraa dijalan yang benar,
tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain melakukan samadi. Selalu waspada untuk
menghindari perbuatan jahat.
Gembira
bukan berarti senang karena bisa
melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan
dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.
Rahayu
kehendak untuk selalu berbuat baik
demi kepentingan semua pihak.
Wilujengan
menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
Marsudi kawruh
selalu
mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
SAMADI
Ngurang-ngurangi: dengan
antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak
harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus
dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah
mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak
boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan
pasangannya yang sah. Pertemuan dengan Dewa Sukma Ruci Sesudah Bima mebunuh
ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu
Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa
Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat
dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
Bima bermeditasi dengan
benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya
dengan cipta hening dan rasa hening.
Kedatangan dari dewa Suksma
Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan
Gusti.
Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya
segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima
telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya
yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah
mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut
“mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup dalam mati”. Bima tidak pernah
merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi
tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan
kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.
ARTI SIMBOLIS PAKAIAN DAN PERHIASAN BIMA
Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang
telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada
lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang
sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam
paningal.
BATIK POLENG
kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam,
kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan
mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan
nafsunya.
TUSUK KONDE BESAR DARI KAYU ASEM
Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik
kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan
duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
KUKU PANCANAKA
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.
Melambangkan :
Dia telah memegang dengan
kuat ilmu sejati.
Persatuan orang-orang yang
bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka
menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.
No comments:
Post a Comment